Oleh : Erika Dwi Silawati
Kabupaten Situbondo mungkin sudah tak asing lagi bagi kita warga Provinsi Jawa Timur. Kota yang terkenal sebagai Kota Santri ini, ternyata memiliki sejarah di balik nama “Situbondo”, yang mungkin tidak banyak warga situbondo sendiri tahu bahwa nama itu adalah nama dari seorang pangeran. Lebih tepatnya, ”Pangeran Aryo Gajah Situbondo”, putra dari Cangkra Diningrat yang berasal dari Madura.
Pangeran Aryo Gajah Situbondo adalah seorang kesatria hebat. Ia juga memiliki pengetahuan yang luas. Memang sedari dini ia diajarkan berbagai ilmu pengetahuan oleh ayah dan pamannya. Selain berpengetahuan luas, ia juga memiliki sifat bijak, jujur, dan pemberani.
Suatu hari ketika ia sudah dewasa, layaknya manusia biasa Pangeran Situbondo mulai tertarik kepada seorang wanita. Yaitu “Dewi Purbawati” putri dari Adipati Suroboyo. Dewi Purbawati ini memang terkenal begitu cantik dan tidak ada yang bisa mengelak kecantikannya. Oleh karena itu, Pangeran Situbondo berkeinginan untuk meminangnya.
Dengan tekat yang besar untuk meminang Dewi Purbawati, Pangeran Situbondo pun merantau ke Surabaya. Sesampainya di Surabaya, ia langsung melamar Sang Tuan Putri. Namun ternyata Raja Adipati Suroboyo tidak menyukai Pangeran Situbondo. tetapi ia tidak langsung menolak Pangeran Situbondo. Ia bersiasat agar Pangeran Situbondo tidak jadi melamar putrinya. Dengan cara ia memberi syarat yang sangat sulit untuk dilakukan oleh Pangeran Situbondo.
“Jika kau ingin melamar putriku, lakukan dulu syaratku ini.” Begitu kata yang diucapkan oleh Raja Adipati Suroboyo dengan nada yang menantang. Maka dengan sigap dan berwibawa Pangeran Situbondo menjawab “Katakanlah Baginda Raja, akan aku penuhi semua syaratmu.” Lalu dengan nada yang sedikit membentak Raja Adipati Suroboyo berkata “babatlah hutan di sebelah timur Surabaya, jika kau mampu membabat hutan itu dengan sempurna maka kau boleh menikahi putriku.” Tanpa menunggu lama Pangeran Situbondo pun menyanggupinya. Tanda bahwa ia sanggup memenuhi persyaratan itu.
Meski Pangeran Situbondo begitu yakin, namun terbesit di benaknya untuk membicarakan keputusan yang telah diambilnya kepada pamannya. “Paman, apakah keputusanku ini sudah benar?, sudah bijakkah keputuanku ini?.” Dengan suara parau ia meluapkan semua kecemasannya. “Tak perlu risau Putraku, bukankah paman dan ayahmu telah membekalimu berbagai ilmu pengetauhuan?, kau ini seorang kesatria pemberani!” Pamannya meyakinkan sambil merangkul pundaknya yang sedikit tertunduk. Meski pamannya sudah meyakinkan, entah apa yang membuat Pangeran Sitbondo tetap saja murung. Di tengah keheningan antara Pangeran Situbondo dan pamannya, tiba-tiba pamannya menggertak Pangeran Situbondo. “Hei putraku, ingatkah engkau dengan wanita yang terpeleset karena melihat betapa gaganya diriku yang sedang berlatih pedang denganmu?” Muncullah senyum dan tawa kecil di wajah Pangeran Situbondo. “Hemm, dia begitu mengagumi kegagahan dirimu, pama.” Pangeran Situbondo mengatakannya sambil tertawa kecil. “Kau ini bisa saja putraku.” Pamannya menjawab sambil menepuk pundak Pangeran Situbondo.
Setelah berbincang lama dengan pamannya, Pangeran Situbondo kini merasa legah dan semakin yakin akan keputusannya. Dan kini tekad di hatinya semakin membara. Bersama pengikutnya Pangeran Situbondo pun mulai membuka Hutan kitri. Dan ternyata Pangeran Situbondo dan pengikutnya tidak terlalu mendapat kesulitan untuk membuka Hutan Kitri. Saat melihat hutan yang awalnya begitu lebat kini telah membetang karena hampir selesai di babat hatinya mulai menggumam “Aku yakin akan berhasil membabat hutan ini.”
Tak luput dari perkiraan Pangeran Situbondo ternyata hutan kitri telah terbabat sempurna. Ia pun mulai teersenyum. Lagi-lagi hatinya berbisik “Tenanglah dinda, sedikit lagi aku akan benar-benar meminangmu.”
Pangeran Situbondopun kembali pergi menemui pamannya untuk memberi kabar baik sekaligus meminta restu agar bisa membabat hutan selanjutnya. Baru sampai ia didepan halaman pendopo tempat pamannya melatih murid-muridnya, tiba-tiba pamannya sudah langsung menghampiri pangeran dan memeluknya “Sudah ku duga putraku, kau pasti berhasil. Aku sangat bangga padamu.” Dengan gembira pangeran menjawab, “Karena dukungan dan restumu aku berhasil paman.” Setelah melepas pelukannya Pangeran Situbondo berkata “Ini baru permulaan paman, berikanlah doa restumu agar aku bisa membabat hutan selanjutnya.” Sambil merangkul pangeran pamannya menjawab “Tentu sajah putrakku, doaku selalu bersamamu.”
Dengan keyakinan di hatinya ia bergegas ke hutan sebelah barat yang lebih luas dan lebih lebat yang di dalamnya terdapat banyak pohon pohon besar dan hewan buas. Namun semua itu tak membuat Pangeran Situbondo gentar untuk terus meluruskan niatnya. Bahkan ia lebih bersemangat daripada sebelumnya.
Di suatu pagi yang dinginnya cukup mennyengat menusuk kulit sampai menembus tulang, Pangeran Situbondo memulai meditasinya untuk menenangkan pikirannya sekaligus mengumpulkan kanuragannya. Titik-titik embun dan angin dingin yang berlalu menemani ketenangan meditasinya yang tak kunjung usai.
Setelah sekian lama pangeran situbondo bermeditasi, kini ia mulai bangkit. Tatapan matanya yang baru saja terbuka mengawang pemandangan di hadpannya. Hutan lebat yang membentang seakan-akan sudah siap untuk dibabat.
Entah mengapa terbesit sesuatu dipikirannya. Seolah ia mendapat petunjuk dari meditasinya. Ia berpikir bahwa syarat yang diberikan Adipati Suroboyo hanyalah akal-akalan saja untuk menolaknya. Sudah tampak jelas di lagak Adipati Suroboyo bahwa dia tak menyukai Pangeran Situbondo.
Deru agin yang bersautan dengn kicauan burung seolah membujuknya untuk berhenti. Logikanya berkata, “Hutan ini begitu luas untuk dibabat, lagi pula jika memang Adipati Suroboyo ingin melihat kemampuanku mengapa dia tidak menyuruhku adu tanding dengan 1001 orang saja, atau beradu gulat?.” Namun disisi lain hatinya berkata, “Tidak ada yang tidak mungkin untuk sebuah cinta.” Dan kini Pangeran Situbondo seakan berperang dengan dirinnya sendiri.
Di tengah-tengah pikirannya yang kacau, ia dikagetkan oleh beberapa pengikutnya yang memecah keterdiamannya. “Maaf Pangeran, saa… sayaa…” entah mengapa pengikutnya ini begitu gugup. “tenangkanlah dirimu, biacaralah dengan jelas.” Saut Pangeran Situbondo dengan sabar. “kami mendengar dari beberapa warga desa sebelah selatan hutan ini pangeran, bahwa putra Adipati di seberang selatan sana ingin mengajakmu bertarung, karena ia juga ingin memenangkan Dewi Purbawati.” Langsung pangeran menjawab, “Benarkah itu? apakah kalian tak mengada-mengada?.” “Demi tuhan Pangeran, kami tak mengada-mengada,” Saut pengikutnya. Meski telah mendengar hal itu, Pangeran Situbondo hanya menghelakan napasnya sambari tersenyum. Lalu pengikutnya bertanya, “Mengapa pangeran tersenyum?.” Pangeran Situbondo hanya diam dan tersenyum tanpa menjawab.
Hari demi hari telah dilewati Pangeran Situbondo di bawah hutan lebat yang kini mulai terbuka sedikit demi sedikit. Seperti biasa Pangeran Situbondo mengumpulkan kanuragannya dengan menarik napas dalam-dalam lalu menghentakkan kaki dan tangannya ke tanah, seketika beberapa pohon besar yang berada di hadapannya tumbang dan batang-batang pohon itu berguling dan tertata rapi dengan sendirinya. Setelah itu, pangeran Situbondo bangkit dari posisi jongkoknya dan menghelakan napasnya.
Ketika melihat semua pengikutnya sibuk melaksanakan pembabatan, Pangeran Situbondo menpuk tangannya tiga kali tanda bahwa Pangeran Situbondo memerintahkan pengikutnya untuk berkumpul. Dengan sigap para rombongannya berkumpul. Langsung saja Pangeran Situbondo memberi tahu tujuannya memerintahkan pengikutnya untuk berkumpul. “Wahai pengikutku tiada henti ku ucapkan banyak terimakasih atas kesetiaan kalian dalam mendukungku, aku sangat menghargai itu dan kalian semua sudah aku anggap saudaraku.” Belum sempat menyelesaikan perkataannya salah satu pengikutnya yang bernama jhoko menyela dan berkata, “Hidup Pangeran!, aku sangat terharu pangeran menganggapku saudara, Membuatku semakin ingin giat bekerja.” Jhoko mengucapkannya sambil menitihkan air mata. Lalu pengikut lainnya menjawab “Halah jhoko… toh kerjamu hanya menyapu dedaunan dan merayu wanita yang ini mencuci di sebrang sana.” Serentak semua tertawa. Pangeran Situbondo hanya tersenyum melihat wajah Jhoko yang memerah karena diejek. “Sudah-sudah, kasihan si Jhoko malu, wajarlah Jhoko kan sedang ingin mencari pasangan… bukan begitu Jhoko?” dengan malu-mau Jhoko menjawab “Hehehh iya pangeran.” “hemm… Lucu sekali dirimu Jhoko,” lanjut Pangeran Situbondo.
Setelah bersenda gurau dengan Jhoko, Pangeran meneruskan perkataannya tadi. “Lebih baik sekarang kalian menuju ke bagian hutan paling barat, biarkan di sini aku yang menyelesaikannya. Lebih cepat lebih baik.” Serempak semua berteriak “Hidup pangeran!” setelah diberi perintah merekapun mulai bergegas menuju hutan paling barat.
Tinggallah sendiri Pangeran Situbondo. Langsung saja Pangeran Situbondo Hendak menyelesaikan membabat hutan. Dengan menarik napas dalam-dalam lalu menyatukan kedua tangannya dan berhembusla angin di sekitarnya. Hampir sajah pangeran ingin menghentakkan kedua tangannya ke tanah, Pangeran Situbondo melihat seorang pemuda seumur dengannya memundurkan langkahnya karena melihat pangeran ingin mengeluarkan kanuragannya. Spontan pangeran membatalkan jurusnya. Karena penasaran, Pangeran Situbondo menghampiri pemuda itu. “Wahai kisana, siapa dirimu?, sedang apa kau di sini?.” Pemudan itu menjawab dengan sangat sopan, “Namaku Joko Jumput, tuan. Aku disini sedang mencari dedaunan untuk dibuat jamu.” Karena kesopanan dan ketampanan pemuda itu, Pangeran Situbondo mulai terkesima. Dan Pangeran Situbondo tertarik untuk berbincang-bincang lebih lama lagi dengan pemuda ini.
Karena sudah cukup lama mereka berbincang-berbincang, Joko Jumput pamit untuk pulang. “Joko, maukah kau menjadi temanku?.” Ucap Pangeran Situbondo sebelum Joko pergi. “Tentu saja Pangeran, suatu kebanggaan bagiku bisa dianggap teman oleh seorang pangeran sepertimu.” Lalu mereka berdua pun saling berpelukan layaknya seorang teman. Saat sedang berpelukan, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang mereka. Suara itu terdengar tidak terlalu jauh dari tempat mereka.
“Bunuh Aryo Situbondo!.” “Hei Pangeran Situbondo pengecut kau!.” “Dimana kau Pangeran Situbondo?, akan ku bunuh kau!.” Ucapan-ucapan itu semakin jelas dan semakin dekat yang membuat Pangeran Situbondo semakin penasaran. Pangeran Situbondo hanya mengerutkan dahinya mendengar hinaan itu. Seketika muncullah orang-orang yang tadi menghina Pangeran Situbondo. Ternyata orang-orang itu adalah Joko Taruno dan pengikutnya. Joko Teruno adalah putra Adipati dari seberang selatan yang sedari awal memang ingin mengajak bertarung Pangeran Situbondo.
“Hei Aryo gajah Situbondo, ternyata kita bertemu dini yaa.” Dengan nada yang menantang Joko Taruno mengucapkannya. “Oh.. rupanya kau Taruno, ada perlu apa kau mencariku?.” “Halaah.. terlalu bertanya bertanya kau, Aryo!.” Ia mengucapkannya dengan nada menggertak Pangeran Situbondo. sedangkan Pangeran Situbondo hanya bersedekap dan tersenyum melihat lagak Sombong Joko Taruno. “Berpikirlah terlebih dahulu jika kau ingin melawanku.” Ucap Pangeran Situbondo. Tiba-tiba Joko Taruno berteriak “Seraaaaaang…!.” Siap tidak siap Pangeran Situbondo harun melawan pasukan Joko Taruno.
Ketika bertarung ternyata Joko Jumput juga ikut bertarung membantu Pangeran Situbondo. Dan tak dapat diragukan kemampuan Pangeran Situbondo memang tak bisa di ragukan dalam hal bertarung, meski dia tak bersenjata. Dan betapa pengecutnya Joko Taruno yang hanya diam menyaksikan prajuritnya melawan Pangeran Situbondo. Tak butuh waktu lama bagi Pangeran Situbondo untuk menjatuhkan para prajurit Joko Taruno. “Heii Taruno, mengapa hanya diam saja, apakah kau takut?” teriak Pangeran Situbondo sambil melawan prajurtit Joko Taruno yang masih tersisa. Tidak butuh waktu lama ternyata prajurit Joko Taruno benar-benar kewalahan dan sebagian besar sudah berjatuhan. Karena tidak ada pilihan lain, kini Joko Taruno ikut andil dalam menyerang. Meski awalnya Joko Taruno ingin langsung menyerang pangeran Situbondo, namun Joko Jumput menghadang dan menyerangnya. Dan pertarungan sengit pun terjadi antara Joko Taruno dan Joko Jumput. Dan saat Joko Taruno terjatuh ke tanah hampir saja Joko Jumput menghunuskan pedang yang diambilnya dari prajurit yang dikalahkannya tadi, Pangeran Situbondo melihat Joko Taruno mengeluarkan jarun panjang dari celananya yang di ujungnya terdapat racun yang hendak ditusukkan ke kaki Joko Jumput. Spontan Pangeran Situbondo berlari dan mendorong Joko Jumput. Lalu terjaturlah Pangeran Situbondo yang kini malah tertusuk sendiri jarum tersebut.
“Pangeraaan…!” teriak Joko Jumput. Sedangkan Joko Taruno bangkit sambil sempoyongan karena banyak luka di tubuhnya. “Jangan lari hei pengecut!” teriak Joko Jumput yang hendak mengejar Joko Taruno yang melarikan diri. “Sudahlah Joko… lebih baik kau bantu aku mengeluakan racun ini.” Pangeran Situbondo mengerang menahan sakit. “Baiklah pageran…” jawab Joko Jumput. Lalu Joko jumput mulai membaringkan Pangeran di bawah pohon besar dan rimbun. Joko Jumput membuat ramuan dan obat-obatan herbal untuk Pangeran Situbondo. Joko Jumput merawat Pangeran dengan penuh kasih sayang layaknya seorang adik merawat kakaknya.
Setelah mengobati Pangeran Situbondo, dan memberi jamu agar Pangeran Situbondo pulih, ia meminta pangeran untuk beristirhat. “Pangeran, baru saja racun bersarang di tubuhmu dan aku sudah mengeluarkannya, jadi beristirahatlah agar keadaanmu membaik.” Ucap Joko Jumput dengan penuh kasih sayang. “Aku akan beristirahat, tapi setelah memberi tahu pamanku tentang semua apa yang telah terjadi padaku.” Ucap pangeran Situbondo dengan lirih. ‘Tenanglah Pangeran, aku akan menuliskan surat untuk pamanmu dan mengatarkannya lewat burung merpati peliharaanku.” Jawab Joko Jumput.
Setelah Joko Jumput menulis surat dan mengantarkan pada paman pangeran lewan merpati peliharaannya, Pangeran Situbondo pun Mulai beristirahat. Kini malam mulai berlalu, fajar pun mulai memamerkan kecantikan merahnya. Angin mulai terasa dingin sekali. Joko Jumput tetap terjaga agar bisa mengawasi Pangeran Situbondo. Tiba-tiba suara kaki kuda terdengar dari kejauhan. Dan Joko Jumput mulai berjaga-jaga takut salah satu musuh pangeran ada yang ingin menyerang lagi. Namun ternyata yang muncul adalah Gajah Seta paman Pangeran Situbondo.
Paman Pangeran Situbondo turun dari kudanya dan berkata “Apakah Pangeran baik-baik saja?, apakah kau sudah mengobatinya?, bukankah kau Yang bernama Joko Jumput yang Mengirim Surat Padaku?” bertubi-tubi tanyanya dalam raut wajah yang khawatir. “Iya tuan akulah Joko Jumput, tenang lah aku sudah mengobatinya dan mengeluarkan racun di tubuhnya,” jawab joko jumput. Lalu paman pangeran menghampirinya yang terbaring beralaskan daun pisang. Lalu ia menyentuh kening Pangeran Situbondo. “Ya ampun… badannya begitu panas.” Kagetnya paman pangeran saat menyentuh keningnya. Karena mendengar suara pamannya, pangeran bangun dari tidurnya. Perlahan pangeran bangkit dan bersandar pada pohon. “Paman… tak usah khawatir, aku baik-baik saja, aku hanya merasa demam.” Dengan suara paraunya pangeran menenangkan pamannya. ‘Sungguh malang nasibmu putraku, perjuanganmu begitu besar untuk cintamu…” ucap pamannya dengan lirih. “sudahlah Paman, aku baik-baik saja. Lagi pula ada Joko yang mengobatiku disini.” Jawab pangeran Situbondo.
Ketika saat mereka duduk bersama-sama, tiba-tiba beberapa prajurit Pangeran Situbondo datang menggunakan kuda. “Salam pangeran, kami membawa kabar penting,” ungkap salah satu prajurit pangeran. “Katakanlah…’ jawab Pangeran. “Joko Jumput membuat berita bohong kepada Adipati Surabaya bahwa dia telah mengalahkanmu, dan lebih parahnya lagi dia mengatakan bahwa engkau telah meninggal dunia. Sehingga kini dia bisa melamar Dewi Purbawati.” Begitu penjelasan dari prajurit pangeran. Pamannya menengok wajah Pangeran Situbondo yang mulai Putus asah dan hanya menggelengkan kepalanya.
Setelah beberapa saat Pangeran Situbondo dalam keheningan, ia pun mulai mengeluarkan suaranya. “Joko… maukah kau membantuku?” dengan sangat parau pangeran mengatakannya. “Tentu saja Pangeran, katakanlah apa yang harus aku lakukan?” jawab Joko Jumput dengan penuh kasih sayang. “Aku tak rela jika Dewi Purbawati dinikahi oleh lelaki pengecut dan pembohong seperti Joko Taruno, aku ingin dia menikah dengan orang yang tepat, dan orang itu adalau kau… pergilah ke Kadipaten Surabaya, ceritakan hal yang sebenarnya terjadi dan sampaikan suratku ini pada Dewi Purbawati!” seketika paman pangeran kaget dan begitu pun dengan Joko Jumput. “Mana mungkin mereka percaya padaku Pangeran, dan lagi pula aku tak pantas menikahi seorang tuan putri.” Jawab Joko Jumput sambil memalingkan wajahnya. “Ini keris saktiku, ambillah. Ajak lah Joko Taruno bertarung dan kalahkan dia kau pantas menjadi suaminya.” Ucap Pangeran Situbondo untuk meyakinkan Joko Jumput, namun Joko jumput tetap terdiam seakan masih bingung. “Jangan banyak berpikir, pergilah cepat… sebelum terlambat!” pangeran menggertak Joko Jumput. Lalau Joko Jumput mengambil keris itu dan berkata “Baiklah Pangeran, aku akan pergi restuilah aku.” Pergilah Joko menangkan Dewi Purbawati, dan jagalah dia sebaik mungkin berikan dia kasih sayangmu, dan jangan sampai kau menyakitinya.” Pesan itu terlontar di mulut Pangeran Situbondo dengan mata yang berkaca-kaca sambil memeluk Joko Jumput. Pamannya hanya menyaksikan kejadian itu dengan bersedekap dan berkaca-kaca karena melihat pengorbanan keponakannya yang begitu besar.
Sebelum Joko Jumput berlalu, pangeran lagi-lagi berkata “Jangan sekali-kali kau menyaki dia.” “Baik lah pangeran, aku bersumpah atas keris ini tak akan aku biarkan Dewi Purbawati bersedih. Aku pergi dulu.” Itulah perkataan terakhir Joko Jumput. Lalu paman Pangeran Situbondo menghampirinya dan berkata, “Putraku, apakah keputusanmu ini sudah kau pikirkan baik-baik?” “sudah paman.” Begitu jawab singkat Pangeran Situbondo yang sedang menyandarkan tubuhnya di pohon. Paman pangeran hanya menghelakan napasnya. “Paman, Joko Jumput orang yang tepat untuk Dewi Purbawati, tugasku telah usai untuk membabat hutan dan memang tugasku sepantasnya hanya mengabdi untuk bangsa.” Ucap pangeran untuk meyakinkan pamannya. “Baiklah Putraku, jika itu keputusanmu.” “Paman…biarkan aku beristirahat di tempat ini hingga akhir hayat ku, dan aku ingin memberi nama hutan yang telah ku babat ini dengan namaku, yaitu Situbondo, mungkin hidupku tak akan lama lagi paman…” pangeran mengucapkannya sambil menitihkan air mata.“Tidak putraku, kau jangan sembarangan berbicara!” jawab pamannya.
Namun tak lama kemudian keadaan Pangeran Situbondo semakin melemah, wajahnya semakin pucat, telapak tangan dan kakinya semakin dingin. Pamannya begitu panik dan meminta pada salah satu prajurit untuk membantunya mengosok-gosok kedua telapak kaki dan tangan pangeran. “Lalu terdengar suara, “Paman… jaga ayah dan ibuku, jaga juga dirimu… aku pergi.” Seketika mata pangeran terpejam. Pamannya berteriak “Tidak…bangunlah putraku… bangunlah…” pamannya meronta meronta pundak pangeran, tetapi tetap saja pangeran tak sadarkan diri. Lalu pamannya memeriksa denyut nadinya, tetapi sudah tak berdetak lagi. “Putraku…!” teriak pamannya sambil menangis tersedu-sedu.
Setelah beberapa saat paman pangeran menangis dan tertunduk di hadapan keponakannya yang sudah tak bernyawa, lalu salah satu prajurit menenangkannya dan berkata “Tuan… sudahlah, ikhlaskan pangeran, kuatkan dirimu… jika kau bersedih siapa yang akan menghadapi kedua orang tua Pangeran Situbondo?.” setelah mendengar perkataan itu, paman pangeran bangkit dan mengusap air mata yang memenuhi pipinya. Setelah itu ia melentangkan kedua tangannya dan menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan kanuragannya. Ia berteriak, “Wahai seluruh alam… aku bersumpah atas nama Pangeran Situbondo hutan-hutan yang telah dibabatnya ini akan menjadi saksi akan perjuangan dan pengabdiannya… dan suatu saat aku pastikan tempat ini akan ramai penduduk, dan siapapun yang tinggal di sini akan merasa terkesan, dan tempat ini akaan dikenal dengan nama Situbondo. ” seketika angin pun tertiup kencang tanda bahwa paman pangeran telah meluapkan kanuragannya.
Begitulah kisah dibalik nama Kabupaten Situbondo yang sampai saat ini kita tempati dan kita jadikan tempat tinggal sejak lahir. Yang di dalamnya memiliki banyak kisah dan cerita yang mengesankan.