Vaarwel, Peter

0
1135
Cerita Pendek Oleh: Chatarina Sentana

Oleh : Chatarina Sentana

Sejak pagi tadi Ayah mengurungku di kamar supaya aku tak membuat keributan seperti yang kulakukan kemarin. Tapi Aku tak peduli. Toh aku juga enggan keluar dari bilik kecil ini walaupun Ayah tak mengurungku.

Aku tak bisa mengatakan bahwa hidupku baik-baik saja. Hidupku jauh dari kata ‘damai’ dan ‘tenang’ sekalipun Ayah adalah orang kepercayaan Sutan Sjahrir. Kota yang dipenuhi trem dan kendaraan-kendaraan untuk memudahkan pergerakan warga ini, tak lain dan tak bukan hanyalah kota yang dipenuhi ketakutan. Hidup pada masa ini, aku tahu bahwa aku bisa mati kapan saja. Tapi kemarin adalah hari terburuk dalam hidupku. Sampai-sampai aku merasa kehidupan seolah ditarik keluar dariku.

Dengan mata bengkak akibat menangis semalaman, aku duduk dengan kertas dan pena di tanganku; berusaha menulis surat untuk pria yang kucintai. Tapi entah mengapa ingatanku masih dipenuhi dengan kalimat-kalimat yang kudengar dari radio kemarin. Bert Garthoff, penyiar paling kondang, mengadakan siaran ‘selamat berpisah’. “Wij sluiten nu. Vaarwel tot betere tijden. Leve de Koningin,”[1] begitu katanya.

Mengingat kalimat itu, mendadak aku menangis lagi. “Vaarwel, Peter,” isakku. Kemudian aku mulai menulis…

Voor Peter Koopman

Aku berharap kuasa Tuhan, suatu saat nanti, menjadi sempurna dalam kelemahan. Gaung perdamaian menggema di tengah hiruk pikuk dunia yang sejatinya fana ini. Sudut-sudut hati yang digelapkan oleh egoisme, peperangan, dan pertentangan segera diterangi. Serta setiap insan yang tercerai berai karena permusuhan segera disatukan.

Peter, aku ingin memberitahumu bahwa tanah ini sudah resmi menjadi milik Nippon. Kemarin saat hujan turun lebat, tangan Letnan Jenderal Ter Poorten dengan gemetar menyerahkan kekuasaannya pada jenderal yang baru, Letnan Jenderal Imamura. Dan pagi ini, Narjo mengatakan dirinya melihat stiker ‘Milik Dai Nippon’ ditempel dimana-mana.

Di setiap sudut kota terjadi keributan. Tentara-tentara dengan bahasa mereka yang aneh itu sibuk berjalan ke sana kemari mencari orang-orang Belanda yang tersisa untuk dibawa ke kamp penampungan. Aku memang tak keluar sama sekali sejak kemarin sore, tapi radio dan Narjo membuatku tahu apa yang tepatnya terjadi di luar sana. Aku takut, Sayang…

Orang-orang Nippon itu menakutkan, Pete. Mereka sepertinya mempunyai schadenfreude[2] akut. Kemarin aku melihat sendiri tawa, kepuasan, dan rasa bangga yang ada di dalam diri mereka ketika… Ah, Peter, Sayangku, mengapa kau begitu tega?

Bagaimana mungkin kau meninggalkanku dengan cara seperti ini? Kau, bangsamu, bukankah kalian selama ini selalu menyombong kalau kalian jauh lebih bermartabat, jauh lebih cerdas daripada kami? Lalu mengapa kau meninggalkanku dengan cara yang sama sekali tidak bermartabat dan bisa dibilang bodoh? Kau bahkan tak memberiku salam perpisahan seperti yang dilakukan Garthoff di radio.

Aku tahu menikah denganmu adalah perkara besar, tapi aku siap menanggung semua resikonya, Peter. Tak masalah jika dicibir banyak orang atau dijauhi kerabat dan teman-temanku karena menikah denganmu. Dan selama ini kau sudah berjanji, Pete. Kau mengatakan bahwa orangtuamu menyukaiku, bahwa kita akan segera menikah setelah kau berhasil meyakinkan orangtuamu bahwa kau layak untuk menjadi atasan di pabrik gula. Ayah pasti akan setuju. Aku berani janji bahwa Ayah akan menyukaimu. Maka dari itu cepatlah kembali, Bodoh! Kuasai pabrik gula itu dan menikahlah denganku. Jangan membuatku hidup setengah gila seperti ini.

Van Dewi Hadinata     

 Rasanya seakan-akan setelah surat ini kumasukkan ke amplop, aku tak akan bisa lagi berkomunikasi dengan Peter. Seakan-akan surat ini adalah ucapan selamat tinggal dariku untuk Peter.

Bagaimana mungkin kami berpisah secepat ini?

Surat itu secara paksa mengingatkanku kembali pada peristiwa pilu yang terjadi kemarin sore.

Ayah sudah melarangku keluar rumah sejak kemarin dulu, jadi aku menurutinya. Aku berusaha menyangkal diriku sendiri, tapi pada akhirnya hari itu aku mendapati diriku cemas dan takut setengah mati. Orang-orang bersorak sorai karena Hindia Belanda runtuh, pemimpin-pemimpin bangsa dibebaskan dari tahanan, pemerintahan gaya baru akan segera datang. Tapi aku hanya bersembunyi di rumah sambil berdoa. Kuharap Peter dan keluarganya baik-baik saja.

Aku berada di kamar dan berdoa saat Narjo, babu keluargaku yang setia, masuk tergopoh-gopoh. Mukanya pucat dan tubuhnya berkeringat. “Ya Allah! Mati… mati semua,” katanya frustrasi.

Ia belum selesai bicara dan aku sendiri tak tahu apa yang memotivasiku untuk beranjak dari kursi dan lari keluar. Yang jelas tiba-tiba saja aku mengayunkan kakiku secepat yang kubisa menyusuri Jalan Latuharhary. Kami bertiga sama-sama tahu kemana tujuan kami. Rumah Koopman.

“Dewi, berhenti!” teriakan Ayah tak kuperhatikan. “Jangan melakukan hal yang sia-sia dengan pergi ke rumah Peter! Jangan membuat malu ayah!”

Aku baru saja tiba di pekarangan rumah Peter ketika aku melihat pria itu lari ketakutan keluar rumah. Di belakangnya menyusul tiga tentara Nippon. Mata mereka sipit, tapi aku bisa melihat betapa haus dan mengerikannya mereka dari sorot mata itu.

Peter berlari dan terus berlari, sedangkan aku menangis tak keruan dan terdiam di tempat. Nasib sial menimpanya karena Peter terjatuh dan tentara-tentara itu berhasil menyusul.

Aku menjerit.

Ketika melihat kepalanya dipenggal dengan samurai. [Chtrn]  


[1] “Kami akhiri siaran ini sekarang. Selamat tinggal, sampai berjumpa kembali di waktu yang lebih baik. Hidup Sri Ratu!”

[2] Perasaan senang atau puas yang didapat ketika melihat orang lain menderita, kesulitan, atau terhina.