Oleh : Keisha Agnantia Az Zahra
Hari itu, tanggal 30 juli 1888 di Desa Ngepah, aku terlahir dengan nama Soebroto. Sejak kecil, aku di asuh oleh kakek dan nenekku. Sejak kecil, kakek dan nenekku selalu menyebutku anak nakal.
“Soebroto, kau tidak di terima di Europeesche Lagere School (ELS)!” Dia Paman Arjodipuro, orang tuaku menitipkanku padanya saat berumur 8 tahun.
“Hei! Aku tidak akan putus asa! Besok, aku akan menyekolahkanmu!” ujar Paman Arjodipuro. Besoknya, paman arjodipuro benar benar membawaku ke ELS. Paman Arjodipuro membawaku pada kepala sekolah. Aku mengikutinya dari belakang. Paman Arjodipuro kembali mendaftarkanku, namun dengan menggunakan nama Sutomo. Dengan nama tersebut, aku berhasil di terima di ELS. Sejak saat itu pula aku mengganti namaku menjadi Sutomo.
***
Di tahun yang sama, aku bertemu dengan seseorang pensiunan dokter. Di dada sebelah kirinya terpampang jelas namanya, Dr. Wahidin Sudirohusodo. Bagiku, pertemuanku dengannya telah memantapkan dan meluaskan cita-citaku.
“Cita-cita yang luhur tidak mungkin dapat dicapai jika tidak mendirikan sebuah perkumpulan. Ayo ikutlah bersamaku” kata Soeradji pada saat itu.
“Ke mana?” tanyaku dengan bingung. Dengan santainya Soeradji menjawab “bertemu seorang dokter.”
“Dr. Wahiddin?” jawabku.
“Ah! Ikutlah saja kau bersamaku” ujarnya.
Ya, pada saat itu. aku akhirnya bertemu dengan seorang bernama Dr. Douwes Dekker.
***
Pertemuanku dengan dua dokter tersebut membuat pengaruh besar, sehingga di umurku yang ke-20. Aku dan kawan kawan seperjuanganku mendirikan sebuah perkumpulan yang kami namai Budi Utomo.
Setahun yang lalu, Dr. Wahidin mengatakan “Punika satunggaling pedamelan serta nelakeken budi utami”.
Setelah sepakat menamai perkumpulan, tiba tiba semua menjadi ricuh.
“Oke, aku mengusulkan Suwarno menjadi ketua” ujar Suwaji.
“Tidak, seharusnya Sutomo yang menjadi ketua!” balas M. Sulaiman.
***
Pada waktu yang singkat, Budi Utomo mendapat sangat banyak dukungan. Pada saat itu juga, aku diancam dikeluarkan dari sekolah. Seluruh anggota merasa keaadan semakin darurat. Aku sangat merasa takut, bahwa perkumpulan ini akan menghambat cita citaku.
“Lusa, kita akan mengadakan kongres” ucapku yang langsung disambut ricuhnya ucapan setuju dari seluruh anggota. Gumbreg iseng menuliskan “3 oktober 1908 pukul 21.00, kongres Budi Utomo dibuka secara resmi” pada tangannya karena saking semangatnya.
***
Setelah lulus dari STOVIA, aku menjalani pengabdian menjadi dokter dan mulai hidup sebagaimana menjadi dokter. Sehari harinya aku selalu dipindah tugaskan. Sehingga pada saat itu aku tidak mempunyai waktu luang sama sekali untuk Budi Utomo.
Terakhir kali, aku bekerja di rumah sakit Blora, jawa tengah. Di rumah sakit ini aku bertemu seorang wanita bernama E. Burning.
Semenjak saat itu, aku sering bercakap cakap dengannya saat tak ada pasien harus segera diobati. Dengannya akhirnya aku menikah. Kemudian aku pun mendapat kesempatan untuk berkuliah di Amsterdam.
***
Setelah 4 tahun belajar di Amsterdam, akhirnya aku kembali ke Indonesia. Sesampainya di indonesia, aku menjalani kedudukanku menjadi seorang guru di sekolah dokter NIAS. Pada saat itu, istriku sering sakit sakitan. Keaadannya semaki lemah dan kesehatannya semakin memburuk. Hingga pada akhirnya ia pergi meniggalkanlu terlebih dahulu.
Untuk beberapa lama aku memerlukan jangka waktu untuk kembali beraktifitas. Aku mengurung diri sepanjang malam di dalam kamar dan tertidur.
“Suamiku, ayo bangun! Bangkitkan semangatmu yang terkubur! Jangan biarkan tertimbun!” seketika pada saat itu aku terbangun dan kembali mendirikan semangat.
Setelah semangatku bangkit, aku mendirikan sebuah perkumpulan yang bernama Indonesische Studieclub. Perkumpulan ini menerbitkan majalah bulanan yang berjudul Indonesia Muda. Melalui majalah ini, aku pernah menguraikan cita cita perjuangan untuk mencapai kemerdekaan.
Setelah 6 tahun berjalan, indonesishe studieclub berubah menjadi partai persatuan bangsa indonesia (PBI). Di partai ini aku dipercayai menjadi pengurus besar atas 15 cabang. Tak lama setelah itu, aku mendirikan partai indonesia raya (PARINDRA). Di partai ini juga, aku dipilih menjadi ketua umum.
Seluruh perjalananku begitu berubah. Bahkan seluruh anggota juga merasakannya. Bahwa aku begitu terlampau pekerjaan berat. Aku terjaring banyak penyakit, satu penyakitku yang lama tak kuobati menjadi masalah besar. Dari penyakit itu, munculah penyakit lain. Aku yang kewalahan, tak tau harus berbuat apa akhirnya diam. Pasrah. Dokter yang mengobatiku sudah mengatakan, “Sutomo, penyakitmu sudah tak bisa di obati lagi”.
“Hanya itu yang dapat kuceritakan padamu” kataku pada wartawan.
“Terima kasih pak, telah menceritakan perjalanan hidupmu selama ini” jawab wartawan. Hari ini aku terbangun, aku menatap kalender sejenak. Dalam kondisi masih lelah setelah di wawancarai. Lalu bergumam “hmmm, tanggal 3 mei 1938”. Kemudian aku baru tersadar jika seluruh keluargaku sedang mengelilingi kasurku. Hanya beberapa kata yang kudengar, tiba tiba nafasku memburu. “Sutomo! Sutomo!”.