Menikmati sejuk dan suasana tempo dulu di Kabupaten Malang tidak lengkap rasanya kalau kita tidak berkunjung ke Situs Petirtaan Ngawonggo yang terletak di Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Malang. Situs purbakala Ngawonggo diperkirakan merupakan peninggalan Kerajaan Medang Kamulan atau Mataram Kuno pada masa keemasan Mpu Sindok. Berbasis literasi dari Prasasti Wurandungan atau Prasasti Kanuruhan B yang berangka tahun 943 Masehi. Diketahui terdapat tempat suci bernama Kaswangga.
Sejak 1970 an, warga sekitar telah mengenal situs tersebut bahkan menyebutnya reca. Pasalnya banyak tinggalan reca (arca), tetapi tidak diketahui bahwa di tempat tersebut terdapat lokasi petirtaan.
Situs ini kembali ditemukan oleh Muhammad Yasin dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) pada April tahun 2017. Pada Mei 2017 Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur melakukan zonasi dan eskavasi di Situs Petirtaan Ngawonggo. Dari kegiatan tersebut diketahui ada empat klaster pada situs Petirtaan Ngawonggo. Klaster pertama 1A adalah relief perwujudan dewa-dewi yang terdapat dalam 7 relief dengan 9 panel. Sementara 1B terdapat kolam dan ukiran atau relief meander.
Klaster kedua, 2A dan 2B terdapat dua kolam berjajar dengan relief pusat bumi dan meander. Klaster ketiga terdapat tebing dengan relief meander. Klaster keempat terdapat relief yang menggambarkan makhluk Gana (penyangga alam semesta).
Selain Situs cagar budaya, di tempat ini terdapat tempat makan yang dikenal dengan nama Tomboan Ngawonggo, tempat makan ini berkonsep unik yang menjadi diferensiasi tempat makan yang lain. Contohnya, bagaimana pengelola memberikan pelayanan kepada tamu yang berkunjung ke situs dengan memberikan suguhan wedang, jajanan hingga makanan utama (nasi empok, urap, lodeh, botok). Pengelola tidak mematok harga untuk setiap sajian yang dihidangkan, tetapi tamu yang sudah melakukan reservasi secara sukarela bisa memberikan sumbangan melalui kotak yang disediakan di Tomboan Ngawonggo. Tomboan Ngawonggo yang digagas oleh juru peliharanya Muhammad Yasin menerapkan prinsip asah, asih dan asuh, hal tersebut menjadi hal utama sebagai bahan edukasi di tengah zaman saat ini. Baginya budaya masa lalu bisa memberikan pelajaran, kearifan lokal akan mampu mencipta tata kelola yang bermanfaat bagi masyarakat, mulai dari irigasi persawahan hingga ritual religi. Warga juga bisa memanfaatkannya untuk kepentingan wisata.