AJARAN MORAL TENTANG RITUAL IBADAH UNTUK MENCAPAI TUJUAN PADA KISAH BUBUKSAH DAN GAGANG AKING

0
1892

MANUSIA mewariskan pesan kepada generasi penerusnya lewat beragam cara. Pesan tersebut kemudian menjelma dalam beragam bentuk. Salah satunya melalui relief candi yang dipahat pada dinding candi dan sebagian relief yang ada di candi candi dijawa, merujuk pada kisah dalam kitab karya para pujangga seperti kitab Ramatana hingga Arjunawiwaha.

Bubukah dan Gagangaking adalah suatu cerita rakyat didaktis yang popular dari masa Majapahit, dan hingga sekarang diwariskan turun-temurun, baik secara lisan maupun tertulis (pada helai lontar, khususnya di Bali). Kisah ini diabadikan di beberapa candi dan potongan relief di Jawa Timur yang merupakan peninggalan Majapahit, seperti Candi PenataranCandi Gambar Wetan, dan Candi Surawana.

 Adapun kisahnya berawal dari ada dua orang bersaudara bernama Gagangaking (sang kakak) dan Bubuksah (adiknya), yang karena sesuatu hal (banyak versi mengenai hal ini), kemudian belajar untuk menjadi pertapa mencapai spiritual tertinggi dan mendapat perkenan dewa. Mereka belajar dari seorang guru, namun dalam pelaksanaan lakú bertapanya menempuh dua jalan yang berbeda.

Gagangaking membatasi makan dan minum serta kenikmatan duniawi sebagai laku prihatin untuk mencapai tingkat spiritual tertinggi. Akibatnya tubuhnya menjadi kurus-kering; itulah mengapa ia dijuluki Gagangaking (artinya “tangkai kering”). Sebaliknya, sang adik – Bubuksah, yang artinya “usus serakah” – menempuh laku dengan menikmati segala hal yang duniawi, termasuk makan dan kesenangan, sebagai bentuk “tantangan” kepada tubuhnya sendiri sebagai bentuk pencapaian spiritual. Gagangaking, sebagai kakak mencoba mengingatkan Bubuksah agar meninggalkan cara laku tersebut, yang dianggapnya membuat sang pelaku mudah tergelincir dalam kenikmatan duniawi. Bubuksah menolak peringatan tersebut. Akhirnya, kedua bersaudara tersebut terlibat dalam perdebatan.

Menyaksikan perdebatan tersebut, sang Batara Guru menjadi prihatin. Untuk itu ia mengutus Dewa Kalawijaya untuk menguji keteguhan hati kedua pertapa tersebut dalam wujud harimau yang kelaparan.

Ujian dimulai dengan datangnya seekor harimau kepada Gagangaking dan bermaksud memakannya. Namun ditolak secara halus oleh Gagangaking dengan mengatakan bahwa “tak ada daging yang bisa dimakan dari tubuhnya yang kurus kering”. Penjelmaan Kalawijaya pun pergi menuju Bubuksah dan mengutarakan maksud yang sama. Bubuksah justru dengan sukarela menyerahkan tubuhnya untuk menjadi santapan harimau.

Sang harimau lalu menyatakan bahwa Bubuksah dinyatakan lulus ujian dan mempersilakannya naik ke punggungnya untuk kemudian diantarkan menuju tempat para orang suci. Namun, sebelum berangkat, Bubuksah meminta sang harimau agar sang kakak, Gagangaking, juga ikut serta dengannya, dengan alasan ia pun juga telah melakukan laku tapa dengan tulus. Sang harimau menyetujui tapi dengan syarat Gagangaking tidak naik di punggungnya. Akhirnya Gagangaking ikut serta dengan berpegangan pada ekor sang harimau menuju ke tempat para orang suci.

Secara bijak, nenek moyang kita telah mewariskan nilai luhur dari kisah yang terpahat pada dinding candi. Tentang kesetiaan, tentang bhakti, juga keikhlasan. Hidup adalah bagaimana kita menjaga kesetiaan pada hal yang benar dan ikhlas merupakan kunci utama dalam menjalani setiap ujian dalam kehidupan.

Di kompleks Candi Penataran, kisah Bubuksah dan Gagangaking ditampilkan dalam lima adegan pada panil di sisi timur di antara dua tiang naga, bergerak dari selatan ke utara (dari kiri ke kanan). Penggambaran dimulai dari pertemuan Gagangaking dan Bubuksah yang kemudian menjadi perdebatan. Adegan paling khas dari kisah ini, yaitu Bubuksah menunggang harimau yang diikuti oleh Gagangaking yang berpegangan pada ekor harimau, ada pada adegan keempat. Adegan ini juga ditemukan di Candi Surawana[2]. Berikut adalah perincian dari panil-panil tersebut.

Sumber Data :

  1. https://surabaya.tribunnews.com/2017/01/03/ada-pesan-moral-bubuksah-dan-gagang-aking-di-rilief-candi-surowono
  2. Adi, Fadhil Nugroho (Selasa, 7 November 2017). “Bubuksah-Gagang Aking, Dua Bersaudara yang Diabadikan di Relief Tiga Candi”. Suara Merdeka daring. Diakses tanggal 14 Maret 2020.
  3. Suleiman, Satyawati (1981). Seri Penerbitan Bergambar 3: Batur Pendopo Panataran. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
  4. Adminmerapi (20 Juli 2018). “MENELISIK KISAH SYEH BELA BELU DAN DAMIAKING (1) – Mengembara Menyusur Pantai Selatan”. Harian Merapi daring. Diakses tanggal 14 Maret 2020.
  5. Anonim. “Lontar Bubuksah”. Tetandingan Banten Bali. Diakses tanggal 1 Mei 2020.
  6. Gambaran adegan mengambil dari Suleiman (1981) (lih. Rujukan)
  7. Sumber Foto https://id.wikipedia.org/wiki/Bubuksah_dan_Gagangaking