Megalitik merupakan kata yang berasal dari mega dan lithos. Mega berarti besar sedangkan lithos berarti batu. Zaman megalitikum juga dapat disebut dengan zaman batu besar, karena pada zaman tersebut hasil kebudayaannya dari batu-batu besar.
Penggolongan tradisi megalitik dalam dua tradisi besar yaitu Megalitik Tua yang berusia kurang lebih 2500-1500 Sebelum Masehi dan Megalitik Muda yang berusia kira-kira millenium pertama sebelum Masehi hingga abad-abad pertama Masehi. Von Heine Geldren memasukan Megalitik Tua ke dalam Masa Neolitik yang menghasilkan alat-alat beliung persegi dan mulai membuat benda atau bangunan yang disusun dari batu besar seperti dolmen, undak batu, pelinggih, batu dakon. Megalitik Muda berkembang pada Masa Perundagian dengan menghasilkan bentuk-bentuk kubur batu, dolmen semu, sarkopagus, jambangan batu dan bejana batu. Namun akhirnya bercampur dan tumpang tindih dalam perkembangannya membentuk variasi-variasi lokal. Tradisi pendirian bangunan-bangunan megalithik selalu berdasarkan pada kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati, percaya akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanah. Kepercayaan kepada kekuatan yang dipancarkan alam ataupun arwah nenek moyang yang akan memberikan kesejahteraan kepada yang masih hidup.
Tradisi menjadi sebuah fenomena hidup yang nantinya akan berkembang pesat dan memiliki kekhasan daerahnya masing-masing. Secara umum, karakteristik megalitikum dikelompokkan menjadi 4 kawasan utama yakni kawasan barat, utara, selatan dan timur. Keberadaaan tradisi megalitik yang tersebar di Indonesia, seperti di pulau Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung), kemudian pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur), di Sulawesi, Bali hingga Papua.
Kebudayaan megalitikum yang masih tersisa di daerah Jawa Timur dan menjadi sebuah peninggalan. Terdapat di wilayah Jember, Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi. Salah satu situs Megalitikum yang masih terjaga dan terawat berada di Bondowoso yaitu di Kecamatan Grujugan Bondowoso juga tersebar di Desa Mas Kuning Lor yang terletak di Kecamatan Pujer, Desa Pakisan yang terletak di Kecamatan Wonosari, dan Desa Glingseran yang terletak di Kecamatan Wringin. Upaya pelestarian penemuan di Situs Grujugan dilakukan oleh Pusat Informasi Megalitikum Bondowoso (PIM Bondowoso) yang berfungsi untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan sumber daya arkeologi melalui perencanaan kebijakan, pelaksanaan dan pemantauan. Pengelompokkan megalitik yang berada di Grujugan tersebar di 4 desa yaitu Desa Pekauman, Desa Taman, Desa Sumber Pandan, dan Desa Tegal Mijin. Situs di Pekauman pertama kali diteliti oleg Willems pada tahun 1940. Berikut beberapa peninggalan-peninggalan Megalitik yang ada di Bondowoso
- Batu Kenong
Batu kenong merupakan salah satu tinggalan megalitikum berbahan dasar batu andesit berbentuk silinder. Bentuk batu kenong hampir menyerupai gamelan (kenong). Memiliki banyak variasi yakni ada yang memiliki tonjolan satu, ada yang kembar. Fungsi batu kenong yakni sebagai umpak bangunan rumah berpanggung.
2. Sarkofagus
Sarkofagus merupakan salah satu tinggalan megalitikum berfungsi tempat meletakkan mayat. Bentuk kuburan batu ini terdapat dua komponen yakni sebagai wadah dan sebagai penutup wadah.
3. Punden Berundak
Punden berundak, undak-undak tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan tingkat-tingkat perjalanan roh nenek moyang ke dunia arwah yang abadi, yaitu di puncak gunung dengan simbol atau lambang menhir.
4. Dolmen
Dolmen merupakan sebuah peninggalan megalitik yang memiliki ciri fisik berupa susunan batu kubur yang ditopang oleh beberapa batu lain sehingga, menyerupai bentuk meja. Dolmen disebut juga “Pandhusa”. Pandhusa sendiri terdiri atas lantai dari papan batu dan beberapa batu tegak sebagai dinding dan ditutup oleh sebuah batu besar. Fungsi dolmen sendiri yakni sebagai tempat pemujaan.
5. Menhir
Menhir merupakan batu tegak berbahan dasar batu andesit yang diletakan dengan sengaja di suatu untuk memeperingati orang yang telah mati selanjutnya dianggap sebagai medium penghormatan menampung keatangan roh sekaligus menjadi lambang dari orang yang diperingati. Menhir berfungsi sebagai sarana pemujaan.
6. Arca Menhir
Arca Menhir merupakan tinggalan megalitik yang ada di desa Pekauman Masyarakat setempat mengenalnya dengan sebutan batu nyai (batu yang menyerupai perempuan). Batu ini berbahan batu breksi. Saat ini kondisi Arca sangat memprihatinkan karena faktor alam yang berubah-ubah membuat Arca batu ini di hinggapi lumut dan jamur.
7. Bilik Kubur (Batu)
Bilik batu berbentuk seperti goa yang fungsinya untuk pemakaman pada masa megalitikum. Bilik batu hanya memiliki lubang di salah satu sisinya sebagai entrance. Bentuknya terkesan tiga dimensi karena keberadaan ruang di dalamnya. Goa bilik kubur yang ada di situs megalitik Bondowoso ini ditemukan pertama kali oleh seseorang yang bernama Wasit, seorang warga Dusun Kecik, Desa Lojajar, Kecamatan Tenggarang, Kabupaten Bondowoso, ketika ia sedang menggali saluran air di lahan miliknya. Wasit menemukan tiga kerangka manusia yang sudah lapuk beserta bekal kubur (keris, tombak, hingga manik-manik).
Kawasan Cagar Budaya Grujugan telah ditetapkan oleh Gubernur Propinsi Jawa Timur sebagai Cagar Budaya Peringkat Provinsi pada 29 Februari 2016 dengan Surat Keputusan No : 188/146/KPTS/013/2016.