Oleh; Ichdiana Sarah Dhiba, S.Ant, MM
(Pamong Budaya Ahli Muda Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur)
Latar Belakang
Paradigma pengelolaan Cagar Budaya dewasa ini, diarahkan pada pelibatan masyarakat secara aktif dalam setiap upaya pengelolaannya. Hal ini sejalan dengan tujuan pengelolaan Cagar Budaya yaitu kebermanfaatan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa setiap upaya pengelolaan Cagar Budaya harus berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena merekalah pemilik syah Cagar Budaya. Dengan demikian, jika pengelolaan Cagar Budaya tidak memberikan manfaat pada masyarakat maka pengelolaan yang dilakukan dianggap tidak berhasil. Hal inilah yang kini menjadi tantangan besar bagi para pengelola atau pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan Cagar Budaya. Bagaimana membuat suatu bentuk pengelolaan Cagar Budaya yang bukan hanya berdampak pada lestarinya Cagar Budaya tetapi juga memberikan manfaat berupa kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh karena itu, setiap rancangan pengelolaan Cagar Budaya diharapkan memberikan ruang sekaligus peluang yang besar bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif. Dalam Undang-Undang Cagar Budaya No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dengan tegas menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan Cagar Budaya harus lebih ditingkatkan. Paradigma pengelolaan Cagar Budaya tidak lagi hanya ditujukan untuk kepentingan akademik semata, tetapi harus meliputi kepentingan idiologik dan juga
ekonomik. Oleh karena itu, untuk mencapai ketiga kepentingan tersebut, diperlukan sinergitas antara pemerintah, akademisi, masyarakat dan juga sektor swasta. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba untuk memaparkan pengelolaan Cagar Budaya khususnya bentuk pengelolaan berupa pemanfaatan Cagar Budaya di Provinsi Jawa Timur.
Pemanfaatan Cagar Budaya di Provinsi Jawa Timur
1. Cagar Budaya Untuk Kepentingan Agama
Manfaat Cagar Budaya untuk kepentingan agama khususnya di Jawa Timur adalah sangat penting. Pada umumnya peninggalan-peninggalan dapat dikatagorikan atas 2 bagian sesuai dengan sifatnya yaitu: (1). Peninggalan yang tersebut masih difungsikan sebagai prasarana atau simbul pemujaan (the living monument), sedangkan yang tidak difungsikan sebagai prasarana atau simbul pemujaan disebut (the dead monument). Peninggalan yang berfungsi sebagai simbul pemujaan (the living monument), jelas sangat besar manfaatnya untuk kepentingan agama maupun kepercayaan terhadap Tuhan Yang maha Esa. Dan kenyataannya banyak peninggalan-peninggalan tersebut seperti bendabenda peninggalan arkeologi diantaranya patung-patung arca masih di sakralkannya oleh masyarakat terutama penganut kepercayaan dan bermakna sebagai tempat pemujaan. Sebagai tempat pemujaan atau persembahyangan bagi penganut kepercayaan sebagian besar merupakan cagar budaya yang berumur lebih dari 50 tahun dan memiliki nilai spiritual amat penting dalam sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaannya. Misalnya Petirtaan Jolotondo, candi-candi di Trowulan Mojokerto dan yang lain-lainnya. Selain sebagai tempat pemujaan peninggalan sejarah/arkeologi diantaranya seperti bangunan suci, arca dan prasasti yang umumnya disucikan masyarakat juga merupakan media pendidikan untuk mengetahui dan memahami pendalaman nilai dan sejarah agama. Cagar Budaya untuk kepentingan agama juga mempunyai fungsi dalam mempertebal kerukunan beragama, adanya situs peninggalan dari dua
agama misalnya peninggalan Islam yaitu Makam “Sendang Duwur” yang mempergunakan “Candi Bentar” dan “Candi Kurung” merupakan bukti kerukunan umat beragama
2. Cagar Budaya Untuk Kepentingan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
a. Sebagai Media Pendidikan Budaya
Bangsa Sangat jelas bahwa cagar budaya adalah salah satu media untuk pendidikan budaya yang sifatnya sepanjang masa. Melalui peninggalan-peninggalan tersebut dapat diketahui budaya manusia pendukungnya dan selanjutnya dapat ditelusuri prosesnya sampai sekarang. Cagar budaya dapat dipergunakan sebagai cermin untuk masa kini dan panduan dalam menapaki masa yang akan datang dan demikian juga dapat dipergunakan sebagai media untuk mengetahui kehidupan manusia di tanah air. Tebaran nilai yang baik dari masa lalu dapat terus dikembangkan, tetapi nilai yang kurang baik perlu diganti dengan nilai yang sesuai pada situasi dan kondisi masyarakat di masa kini. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur khususnya di Bidang Cagar Budaya dan Sejarah melalui tupoksinya sudah melakukan banyak kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan cagar budaya sebagai media pendidikan seperti : Kemah Cagar Budaya, Lawatan Sejarah, Jelajah Sejarah dan lain-lain.
b. Objek Ilmu Pengetahuan Sejarah dan Budaya
Banyaknya cagar budaya yang kita miliki merupakan suatu keuntungan bagi orang Indonesia untuk keahlian mendalami ilmu sejarah dan purbakala. Dalam bidang ilmu pengetahuan dapat dikembangkan ilmu terapan seperti : arkeologi, maritim, arkeologi lingkungan, arkeologi pariwisata, museologi. Cagar budaya yang ada merupakan sumber atau data dalam mempelajari sejarah dan budaya bangsa nenek moyang kita.
c. Merupakan Bukti-bukti Sejarah dan Budaya
Kita ketahui bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan memiliki kebudayaan yang bernilai tinggi. Tanpa cagar budaya tersebut mungkin masalah tentang kebesaran Bangsa Indonesia akan dianggap memiliki nilai subyektif yang tinggi, terutama jika berbicara mengenai Indonesia pada masa silam.
d. Media Pendidikan Pelestarian Lingkungan
Pelestarian lingkungan merupakan isu global pada saat sekarang. Cagar budaya yang bernilai tinggi dalam sejarah dan budaya juga dianggap dan disucikan oleh sebagian masyarakat. Anggapan suci tersebut mendorong masyarakat untuk memelihara dan melestarikan termasuk juga lingkungan di sekitar cagar budaya. Masyarakat yang menganggap cagar budaya itu suci tidak berani untuk merusak karena merasa takut. Keadaan seperti ini dapat dipergunakan sebagai media pendidikan dalam melestarikan cagar budaya yang ada beserta lingkungannya terhadap masyarakat yang awam akan manfaat cagar budaya tersebut.
3. Cagar Budaya Untuk Kepentingan Pariwisata
Pariwisata budaya ibarat pisau bermata dua dalam pemanfaatan warisan budaya sebagai objek daya tarik wisata. Di satu sisi pariwisata dapat melestarikan warisan budaya tersebut, sedangkan di sisi lain kegiatan pariwisata akan merusak atau berdampak negatif terhadap warisan budaya itu karena objek tersebut akan dikonsumsi oleh wisatawan (Burn dan Holden, 1995). Pemanfaatan cagar budaya sebagai objek pariwisata merupakan salah satu misi dalam melaksanakan pelestarian cagar budaya sesuai dengan Undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. Dalam undang-undang cagar budaya tersebut yang berkaitan dengan pariwisata terdapat pada pasal 85 ayat 1, disebutkan bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan cagar budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan pariwisata”. Dalam kalimat tersebut jelas bahwa pemerintah dapat memanfaatkan cagar budaya sebagai salah satu objek pariwista. Dalam pemanfaatan cagar budaya sebagai objek pariwisata, terkadang memunculkan anggapan yang berseberangan dengan pelestarian cagar budaya itu sendiri. Padahal sebenarnya pelestarian dan pemanfaatan memiliki sifat yang saling terkait guna memenuhi tujuan akhir dari pelestarian cagar budaya yang bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini muncul dikarenakan cagar budaya juga memiliki batasan khusus dalam pemanfaatannya, tidak hanya melihat dari unsur ekstrinsik saja, melainkan dapat dimanfaatkan melalui nilai-nilai instrinsiknya, tanpa mengubah unsur ekstrinsik dari cagar budaya itu sendiri. Cagar budaya merupakan benda hasil kebudayaan masa lalu, yang memiliki sifat tua, rapuh, terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Sifat inilah yang terkadang mengaburkan pemahaman terhadap pemanfaatan cagar budaya sebagai objek pariwisata. Pembaharuan terhadap cagar budaya membutuhkan penanganan khusus agar tidak mengubah nilai yang dikandungnya. Pemanfaatan pariwisata berbasis cagar budaya secara khusus dapat dibagi menjadi dua yaitu pemanfaatan secara fisik (pariwisata) dan pemanfaatan secara non fisik (berkaitan dengan makna kultural dan nilai luhur). Pariwisata berada di ranah yang tepat dalam memanfaatkan cagar budaya secara fisik sebagai faktor utama dibandingkan pemanfaatan secara non fisik. Secara non fisik pemanfaatannya akan lebih mengedepankan penyebaran informasi pengetahuan ataupun kajian penelitian kepada masyarakat. Melalui pandangan-pandangan tersebut terlihat bahwa sebenanrnya cagar budaya memiliki potensi sebagai objek pariwisata justru melalui keeksotisan, keunikan dan kelangkaannya itu. Peran informasi menjadi begitu penting ketika melihat wujud fisik sebuah cagar budaya. Tidak aneh jika suatu cagar budaya walau telah menjadi objek pariwisata namun masih belum menjadi daya tarik wisatawan. Aspek penyebaran informasi dan interpretasi terhadap nilai yang dimiliki cagar budaya harus dimunculkan dengan pengemasan dan penyajian yang menarik. Hal ini tentunya berguna untuk mengimbangi sifat cagar budaya itu sendiri yang terkadang memang ketertarikan akan muncul terlebih dahulu dari informasi yang dimilikinya. Melalui penyajian yang imajinatif yang ditambahkan dengan cerita sejarah dan tata visual pendukung dari masa lalu akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang berusaha dikaitkan dengan fisik dari cagar budaya yang dilihat. Terkait wujud fisik dan informasi yang dimiliki dari cagar budaya itu, pastinya harus memiliki pengunjung yang menjadi arah sasaran publikasi. Peminat dari pariwisata cagar budaya biasanya meliputi kalangan ilmuan dan akademisi dari disiplin ilmu arkelog dan anthropolog, wisatawan yang menaruh minat pada bidang khusus (budaya, sejarah, agama, dll), para pelajar dan masyarakat lokal. Cagar budaya yang menjadi pariwisata memiliki keunikan dibandingkan wisata alam atau yang lainnya. Sifat dari cagar budaya yang rentan, rapuh, tua dan terbatas berada di bawah lindungan payung hukum, namun aspek intrinsik dari cagar budaya tetap menjadi potensi yang menarik dan bermanfaat untuk dikembangkan menjadi pariwisata berbasis cagar budaya. Oleh karena itu, peran publikasi dalam menyampaikan informasi dan nilai intrinsik yang dimilikinya harus dikemas sedemikian rupa, agar tidak menjadi sisa masa lalu yang tidak ada artinya. Pemanfaatan media jaringan informasi global juga perlu dilakukan, karena menjadi sarana yang paling cepat dan luas dalam penyebaran informasi. Untuk penyebaran informasi mengenai cagar budaya yang ada di Jawa Timur Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur melalui Bidang Cagar Budaya dan Sejarah sudah memiliki web tersendiri yaitu cagarbudayajatim.com
Penutup
Cagar budaya merupakan kekayaan bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Untuk menjaga kelestarian cagar budaya, telah dikeluarkan peraturan berupa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang mengatur tentang pemilikkan dan penguasaan, penemuan dan pencarian, registrasi nasional, penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, pemugaran, penelitian, revitalisasi, adaptasi, pemanfaatan, kewenangan, pendanaan, pengawasan dan penyidikan.