Agastya

0
2565

Patung Agastya dari Candi Banon (Museum Nasional)

Agastya  dikenal sebagai seorang pria tua berjenggot dengan perut besar dan memakai ornamen seperti mahokta di kepalanya.  Dalam Wikipedia Riwayat kehidupan Agastya tidak diceritakan secara kronologis, namun tersebar dalam berbagai literatur. Agastya merupakan anak dari Pulastya. Catatan lain menyatakan bahwa Agastya lahir dari dalam kendi tanah dari setelah dilakukan yadnya oleh Dewa Baruna dan Dewa Mitra yang memunculkan Dewi Urwasi. Kelahiran Agastya juga dibarengi oleh kelahiran kembarannya, Wasista. Kemunculan mereka dari kendi tanah membuat keduanya dikenal juga sebagai “kumbhayoni” atau “maitrawaruni” yang berarti lahir dari kendi. Agastya tumbuh dengan tubuh yang pendek. Ia kemudian mempelajari Weda dan berbagai senjata gaib. Kemampuannya bertambah dan semakin mahir.

Agastya adalah murid pertama Siva (salah satu dewa tertinggi Hindu) dan dalam Hindu Purana, Agastya dikenal sebagai Rsi (Pendeta Tinggi) yang menyebarkan agama ke wilayah selatan India. Di Indonesia, Agastya dikenal sebagai Siva Mahaguru, salah satu dari emanasi/perwujudan Siva. Dalam kebanyakan kasus di Indonesia, Agastya biasanya dapat ditemukan berdampingan dengan dewa yang lain atau mahluk setengah dewa lainnya dalam lingkaran hubungan Siva.

Kebesaran dan kesucian Maha Rsi Agastya, membuat ia disebut juga Batara Guru sebagai perwujudan Siwa di dunia yang mengajarkan dharma. Di dalam sejarah agama Hindu di Indonesia, Maha Rsi Agastya disucikan namanya dalam prasasti-prasasti dan kesusastraaan-kesusastraan kuno  yang menyebut namanya  dalam   Prasasti Dinoyo di Jawa Timur Tahun Saka 682 di mana seorang raja bernama Gajayana membuat pura suci yang sangat indah untuk Maha Rsi Agastya dengan maksud untuk memohon kekuatan suci untuk mengatasi kekuatan yang gelap.    

Meskipun secara umum diketahui bahwa keberadaan Agastya tekait erat dengan Agama Hindu, khususnya pemuja Siwa, akan tetapi Agastya juga dikenal di dalam agama Buddha. Di dalam relief cerita Jatakamala yang dipahatkan di Candi Borobudur, terdapat penggambaran resi yang diidentifikasikan sebagai Agastya. Di dalam cerita tersebut Agastya adalah rishi yang mempunyai memampuan untuk mengontrol para raksasa jahat (asura) yang menempati belahan bumi selatan, supaya tidak mengganggu ketentraman kahyangan dan dunia manusia.

Secara umum  Agastya selalu digambarkan sebagai seorang pria tua berjenggot dengan perut besar. Namun ada juga Agastya yang digambarkan mempunyai perut langsing, tetapi juga tanpa jenggot dan kumis. ,  antara lain adalah yang ditemukan di Dieng dan  Agastya di ruang koleksi BP3 DIY, serta Agastya di Candi Sambisari.

Dalam buku yang berjudul Agastya di Nusantara, Poerbatjaraka juga menyinggung penggambaran Agastya yang memiliki ciri langsing, serta tidak berjenggot dan tidak berkumis, yang disebutnya sebagai Agastya-Guru. Penggambaran Agastya yang demikian ini ditengarai menunjukkan kronologi yang lebih tua dari pada penggambaran Agastya yang bercirikan resi.

Perbedaan penggambaran Agastya tersebut, tampaknya dapat dikaitkan dengan peran dan status Agastya itu sendiri. Pada awalnya, Agastya-Guru bersama-sama dengan Ganesa berperan sebagai penjaga pintu kahyangan Siwa, mengingat Ganesa adalah kepala pasukan gana yang bertugas menjaga Siwa. Kemudian, keduanya mengalami perubahan status, menjadi dewa yang dipuja secara mandiri. Perannya sebagai penjaga kahyangan Siwa digantikan oleh Mahakala dan Nandiswara.

Daftar Pustaka

  1. BPCB Jateng (2 Maret 2016). “Agastya”Indonesiana. Diakses tanggal November  2020.
  2. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/agastya/, diakses November 2020
  3. https://kabar24.bisnis.com/read/20200203/79/1196595/arca-agastya-dan-nandi-ditemukan-di-yogyakarta,  diakses November 2020
  4. https://jogja.tribunnews.com/2019/03/19/kisah-di-balik-arca-arca-besar-maha-rsi-agastya-dan-ganesha-di-situs-gepolo-prambanan, diakses November 2020
  5. https://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2012/04/rsi-agastya.html, diakses November 2020